Ibadah Haji dan Rasionalitas Manusia
Sabtu, 10 Mei 2025 - 10:10:44 WIB
(BabadNews) - Ibadah haji mengandung banyak pelajaran dan hikmah. Salah satunya adalah tentang terbatasnya rasionalitas manusia. Sejak awal sejarah ibadah haji, ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di tengah padang pasir Makkah yang tidak berpenduduk, rasionalitas kita mulai diuji.
Rasio manusia umumnya akan menggugat tentang “ketegaan” Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan bayinya hanya berdua di tengah padang pasir tandus. Namun, bagi Nabi Ibrahim dan Siti Hajar karena keimanan dan ketakwaan mereka yang kukuh dan mengetahui bahwa ini adalah perintah Allah, maka mereka taat, berdoa, dan yakin bahwa Allah akan menolong mereka (QS 14: 37, HR Bukhari: 3113).
Kita sudah mengetahui bahwa Allah memang kemudian menolong dan mengurus Siti Hajar dan bayi Ismail dengan cara-Nya yang juga tidak terbayangkan oleh rasionalitas manusia (lihat HR Bukhari: 3113).
Saat Nabi Ibrahim juga mematuhi perintah Allah untuk menyembelih putranya Ismail, rasionalitas kemanusiaan kita juga umumnya akan mempertanyakan. Mengapa Nabi Ibrahim tega untuk menyembelih putranya tercinta yang sudah berpuluh tahun ditunggu kelahirannya?
Namun sekali lagi, rasionalitas Nabi Ibrahim dan Ismail yang ridha dengan perintah tersebut (QS 37:102), sudah melampaui rasionalitas manusia umumnya. Rasionalitas beliau berdua sudah dituntun oleh kebeningan hati serta cahaya keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang murni.
Pengalaman pribadi kami dan sejumlah rekan saat berhaji, serta berbagai kisah berhaji sejumlah ulama yang kami baca, menyiratkan bahwa ibadah haji punya beragam lapisan makna.
Fenomenanya kadang sulit dijelaskan dengan rasionalitas umumnya manusia. Contohnya, ada orang yang secara finasial dan kondisi fisik sangat baik, tapi tidak pernah berkesempatan untuk berhaji.
Ada orang yang sakit-sakitan di luar masa haji, tapi sehat walafiat saat berhaji, dan ada juga yang sebaliknya. Ada orang yang tidak dapat masuk ke dalam kompleks Masjidil Haram atau melihat bangunan Ka’bah di hadapannya, kecuali setelah dia beristighfar dan mengakui dosa-dosanya selama ini.
Ada yang secara fisik tidak berhaji, tapi banyak yang menyaksikannya melaksanakan ibadah haji bersama mereka. Kita semua yang pernah berhaji tentunya banyak mengalami, mengetahui atau mendengar berbagai kejadian yang ‘tampak’ tidak rasional.
Sejatinya, memang ilmu kita tidak sebanding dengan ilmunya Allah. Bagaikan setetes air dibandingkan dengan seluruh air dari tujuh lautan, bahkan lebih (QS 18: 109, 31: 27).
Rasionalitas yang didasarkan pada ilmu kita yang sangat sedikit tersebut secara teoretis tidak akan dapat menjelaskan banyak kejadian dalam hidup ini secara baik, termasuk yang kita alami saat berhaji.
Banyak hal yang masih gaib untuk rasio kita. Karena itu, limitasi rasio kita di hadapan ilmu dan rencana Allah harus kita selalu dampingkan dengan kebeningan hati nurani, dan kebergantungan selalu pada Allah dalam setiap gerak langkah dan episode kehidupan kita. Semoga.(rep)
Sumber: Radarpekanbaru.com
Komentar Anda :