TNTN Harus Dikembalikan! Elviriadi: Tak Ada Kompromi, Itu Bukan Tanah Mereka
Jumat, 20 Juni 2025 - 10:23:29 WIB
TERKAIT:
PEKANBARU (BabadNews) – Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kian kehilangan maknanya sebagai kawasan konservasi. Ketika negara baru mulai menertibkan 81.793 hektare lahan yang selama ini dikuasai secara ilegal, justru muncul tuntutan agar kawasan itu tetap dihuni.
Pakar lingkungan Riau, Dr. Elviriadi, angkat suara atas kisruh Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang kian jauh dari fungsi ekologisnya. Dalam wawancara bersama GoRiau, Kamis (19/6/2025), ia mendesak agar negara tidak tunduk pada tekanan massa yang membela okupasi ilegal, melainkan segera memulihkan TNTN sebagai kawasan konservasi.
“Lahan di TNTN ini harus kembali menjadi fungsi sebagai hutan. Harus kembali,” tegas Elviriadi, seraya menyoroti praktik eksploitasi liar, penguasaan ilegal, dan pembiaran oleh pemerintah yang telah menggerogoti habitat satwa langka seperti gajah Sumatera. Bagi Elviriadi, TNTN bukan sekadar hutan yang hilang, melainkan simbol kelumpuhan negara dalam menjaga paru-paru bumi.
Bagi Elviriadi, kerusakan di TNTN bukan semata soal lingkungan yang tergerus, tetapi juga cerminan dari konflik klaim yang dibiarkan berlarut. Dosen UIN Suska Riau ini menilai bahwa TNTN telah lama menjadi ladang sengketa antara negara, kelompok adat, dan pendatang yang bukan warga asli Riau.
“Mereka itu bukan orang Riau. Mereka datang ke Riau, menjual hartanya di kampung halaman, lalu membeli lahan dari para Ninik Mamak. Ini membuat lahan konservasi menjadi lahan sawit,” tegas Elviriadi.
Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin bahwa banyak ditemukan dokumen kependudukan dan kepemilikan tanah palsu yang beredar di dalam kawasan TNTN.
"Dugaan adanya Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu, serta penerbitan SHM di kawasan hutan TNTN. Ada indikasi tindak pidana korupsi oleh oknum aparat," jelas Burhanuddin yang juga merupakan Wakil Ketua I Pengarah Satgas PKH saat memimpin rapat di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jumat (13/6/2025).
Selain itu, Elviriadi memaparkan adanya dualisme klaim di kawasan itu: antara masyarakat adat Batin yang merasa punya hak atas tanah, dan negara yang menetapkannya sebagai kawasan taman nasional. Kekosongan hukum dan pengawasan itu, kata Elviriadi, justru memberi ruang bagi ekspansi kelapa sawit secara ilegal yang semakin menenggelamkan fungsi ekologis TNTN.
“Kawasan itu kan batin namanya. Batin dengan penetapan kawasan Taman Nasional. Jadi pihak bathin masih merasa miliknya, lalu menjual areal wilayahnya,” kata Elviriadi.
Ia menilai pihak Batin dan masyarakat adat perlu memahami bahwa kawasan itu memiliki fungsi vital sebagai penyangga ekosistem global. Apalagi, lanjutnya, ada kepentingan besar terkait perubahan iklim, suhu udara, keseimbangan satwa, dan paru-paru dunia yang harus dilindungi.
“Batin juga harus mempelajari perkembangan kebijakan negara. Pemerintah daerah Pelalawan juga harus menegur para Ninik Mamak agar tidak lagi menjual lahan yang diklaim sebagai tanah adat, padahal sejatinya adalah tanah negara,” ujarnya.
Kerusakan yang ditimbulkan akibat alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit ilegal disebut telah melanggar hukum. Namun, selama ini, penegakan hukum di lapangan tidak berjalan efektif. Aparat kerap tidak berdaya menghadapi massa.
“Sudah berulang kali polisi hutan, polisi resort datang, tapi tak mempan karena jumlah massa yang banyak dan kuat. Pernah kantor balai TNTN dicat dengan tulisan-tulisan intimidasi. Itu ancaman,” ungkap Elviriadi.
Ia menyatakan mendukung langkah negara untuk melakukan pensterilan kawasan konservasi dari penguasaan manusia yang tidak sah. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa langkah ini harus dibarengi dengan pendekatan sosial, mengingat akan muncul dampak demografis dari relokasi atau penggusuran.
“Harus ada yang memikirkan bagaimana mengurai problem sosial demografis setelah konservasi dijalankan. Ini harus jadi tanggung jawab pemerintah Provinsi Riau dan Pemkab Pelalawan,” ujarnya.
Terkait kelompok yang mengklaim diri sebagai Aliansi Masyarakat Menjaga TNTN (AMMP), Elviriadi tidak mempersoalkan nama itu, tapi mendorong agar pemerintah melakukan verifikasi lebih dalam terhadap identitas dan kepentingan di baliknya.
“Sah-sah saja mereka menamakan diri AMMP. Tapi harus di-crosscheck oleh pemerintah. Harus diidentifikasi, siapa mereka sebenarnya,” ujarnya.
Namun, Elviriadi pesimis bahwa perlawanan sosial bisa menghentikan operasi penegakan hukum yang sudah mendapat mandat dari pemerintah pusat.
“Saya tidak yakin bisa diubah, karena sudah perintah presiden. Itu akan tetap lanjut. Dulu waktu tidak serius, mudah digembosi. Sekarang sudah mulai gencar, tapi kita masih belum tahu endingnya. Apakah hutan benar-benar dikembalikan?” kata dia.
Di lapangan, ia mengaku melihat langsung keberadaan pohon sawit dan pepohonan hutan yang tumbang. Kawasan TNTN kini terang-benderang, tak lagi teduh seperti hutan alami.
“Saya turun langsung ke dalam hutan. Banyak sawit, pohon-pohon tumbang. Hutan itu sudah terang, terbuka. Pemerintah harus usut hingga ke akar-akarnya,” ujar Elviriadi.
Menurutnya, ada indikasi kuat keterlibatan cukong dan perusahaan besar di balik perambahan kawasan konservasi tersebut.
“Jelas ada cukong dan perusahaan di belakangnya. Harus ditindak. Kalau bisa, cabut izinnya saat itu juga. Jangan ditunda-tunda, nanti bisa masuk angin,” katanya dengan nada geram.
Sebelumnya, Pabrik kelapa sawit (PKS) PT. Subur Berkah Lestari (SBL) yang baru beroperasi kurang dari satu bulan diduga menerima dan menjamin masuknya buah sawit dari kawasan TNTN.
Seorang sopir dan warga setempat mengungkapkan bahwa marketing PKS PT. SBL berinisial Ag, yang merupakan pemilik DO tunggal, diduga langsung berkomunikasi dengan petani sawit dari kawasan TNTN.
"Mereka (Ag, Lo, dan Yh) langsung menelepon bos kami. Mereka menjamin buah bisa masuk ke pabrik tanpa kendala," ujarnya sambil meminta agar namanya tidak disebutkan pada Maret awal lalu.
Elviriadi mendorong agar Satgas Penyelamatan Kawasan Hutan (PKH) tidak hanya menyita hasil kebun sawit ilegal, tetapi juga memberikan sanksi hukum tegas.
“Berikan sanksi pidana kepada koperasi yang terlibat. Segel lah, jangan hanya disita. Denda, bahkan pidanakan direktur-direkturnya. Selama ini mereka menepuk tangan melihat kita. Mereka sudah dapat ratusan triliun sejak tahun 90an,” paparnya.
Ia memperkirakan bahwa dari setiap lahan sawit ilegal yang ditanam sejak puluhan tahun lalu, para pelaku telah meraup keuntungan besar yang semestinya bisa dikenakan sanksi keuangan. Dana dari denda itu bisa dialihkan untuk mendanai relokasi masyarakat yang terdampak.
“Denda itu bisa digunakan untuk relokasi, untuk membeli tanah, bukan cuma dari APBN. Bahkan panen sawit ilegal yang sekarang bisa dijadikan sumber pendanaan. Keuntungan mereka per bulan itu miliaran,” kata Elviriadi.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan anggota Fraksi Gerindra DPRD Riau, Edi Basri. Dirinya mendesak agar koperasi atau pihak-pihak yang selama ini menikmati keuntungan dari perambahan TNTN diproses secara hukum. Bahkan, menurutnya, mereka juga harus diminta untuk menanggung biaya relokasi warga.
“Saya minta korporasi yang menadah dan mencuri kayu dari TNTN mengaku salah. Minta BPK audit kerugian negara dan suruh mereka bayar, seperti kasus PT Wilmar Group. Mereka bersalah, ya harus bayar. Biaya relokasi harus dari mereka yang selama ini menikmati hasil dari rusaknya TNTN,” tegas Edi Rabu (18/6/2025)..
Namun, ia masih skeptis terhadap kesiapan pemerintah dalam mengelola pemulihan kawasan hutan. Hingga saat ini, belum ada kejelasan siapa yang akan mengelola proses reforestasi atau darimana dananya berasal.
“Yang lucunya, justru daerah Riau tidak ada inisiatif. Cuma ikut-ikutan. Pemimpinnya tidak punya ide,” sindirnya.
Ia mengkritik keras para kepala daerah yang menurutnya hanya fokus pada jabatan tanpa misi kemanusiaan dan keberpihakan kepada rakyat serta lingkungan.
“Pemimpin kita tidak punya daya gerak untuk menghidupkan daerah. Mereka cuma politisi yang penting dapat jabatan: gubernur, bupati, camat, lurah. Tidak ada misi kemanusiaan dan mengayomi rakyat,” tutup Elviriadi.
Penyelamatan Tesso Nilo bukan soal teknis penertiban, melainkan ujian nyata keberpihakan negara terhadap lingkungan. Jika ini gagal, maka hutan tinggal nama, dan hukum hanya jadi dekorasi di tengah kepungan cukong dan kompromi politik. ***