JAKARTA (BabadNews) - Tak ada lagi penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) Serentak tahun 2029. Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
MK memutuskan, keserentakan penyelenggaraan pemilu dalam hal ini pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
“Mahkamah menyatakan Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 Ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Dalam putusan itu, MK memerintahkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan untuk memilih anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
“Sehingga pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai pemilu lima kotak tidak lagi berlaku,” ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.
Saldi Isra menyebutkan, waktu penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum.
Bahkan, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model lima kotak.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.
Saldi menekankan, perihal waktu antara penyelenggaraan Pemilu nasional dengan waktu penyelenggaraan Pemilu daerah atau lokal, tidak mungkin ditentukan oleh Mahkamah secara spesifik. Namun demikian, Mahkamah berpendapat jarak waktu tersebut tidak dapat dilepaskan dari penentuan waktu yang selalu berkelindan dengan hal-hal teknis semua tahapan penyelenggaraan pemilu.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan, tahapan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik, terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum.
Akibatnya, lanjut Arief Hidayat, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik. Selain itu, dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus, dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden.
Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.
“Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” ujar Arief.
Merespons itu, peneliti Perludem Annisa Alfath mendorong agar DPR RI segera membahas Revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Mengingat, kedua Undang-Undang itu telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Oleh sebab itu, adanya Putusan MK ini harus menjadi momentum untuk menyegerakan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.
“Mahkamah Konstitusi mengingatkan pentingnya revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang lebih komprehensif. MK menyerahkan hal ini kepada pembentuk UU untuk melakukan constitutional engineering dalam rangka memperbaiki sistem pemilu yang ada, demi memastikan pelaksanaan yang lebih efisien dan sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat,” kata Annisa dalam siaran pers, Kamis (26/6).
Dengan putusan ini, lanjut Annisa, pihaknya mengapresiasi serta menghormati putusan MK ini dan mendorong agar pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada segera dilakukan secara terintegrasi dengan metode kodifikasi.
Serta mematuhi putusan MK untuk mengubah desain keserentakan Pemilu di Indonesia untuk Pemilu 2029 mendatang menjadi pemilu serentak nasional untuk pemilihan presiden/wakil presiden, DPR RI, dan DPD dan pemilu serentak lokal yang terdiri atas pemilihan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dengan jeda waktu minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun.
Perludem menilai, kedua undang-undang tersebut perlu disusun dalam satu paket pembahasan menggunakan metode kodifikasi, untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan menciptakan sistem pemilu dan pilkada yang lebih sistematis serta mudah dipahami.
“Hal ini diharapkan dapat menciptakan keseragaman dan efisiensi dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada, serta menjaga integritas dan kualitas demokrasi Indonesia ke depannya,” tegasnya.(das)