TKD Dipangkas, Daerah Terancam Tak Bisa Layani Kesehatan dan Air Bersih
Rabu, 27 Agustus 2025 - 09:22:07 WIB
TERKAIT:
JAKARTA (BabadNews) - Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 dinilai bakal memukul daerah miskin. Fitra memperingatkan, jutaan warga bisa kehilangan akses layanan dasar seperti kesehatan, air bersih, dan sanitasi.Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 dinilai bakal memukul daerah miskin. Fitra memperingatkan, jutaan warga bisa kehilangan akses layanan dasar seperti kesehatan, air bersih, dan sanitasi.
Peneliti Divisi Hukum, HAM dan Demokrasi, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Siska Barimbing, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap TKD dipangkas hingga 25% menjadi Rp 650 triliun atau hanya 17% dari APBN 2026.
Menurutnya, pemangkasan drastis transfer daerah ini berpotensi melemahkan kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan layanan dasar, seperti layanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih. Hal itu mengingat sebagian besar daerah di Indonesia masih sangat bergantung pada TKD.
Siska memaparkan bahwa sebanyak 330 kabupaten/kota di Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada dana TKD. Berdasarkan kajian Fitra, rata-rata pemerintah daerah memiliki ketergantungan hingga 66% terhadap pendapatan transfer.
Dari total 508 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 58 (11%) memiliki kapasitas fiskal yang sangat rendah, 152 (30%) memiliki kapasitas fiskal rendah, dan 120 (24%) kabupaten/kota memiliki kapasitas fiskal sedang.
Sisca berujar, pemangkasan TKD bagi daerah yang kapasitas fiskalnya tinggi seperti Jakarta mungkin fiskalnya hanya akan turun ke sedang.
Namun bagi daerah-daerah yang kapasitas fiskal sangat rendah, pemangkasan TKD akan sangat bermasalah khususnya bagi pelayanan dasar seperti layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi.
Dampak pemangkasan TKD ini akan sangat dirasakan khususnya pada daerah-daerah dengan kapasitas fiskal sangat rendah dan rendah, seperti Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Kota Kupang.
"Mungkin nanti akan ada tambahan kategori daerah dengan kapasitas fiskal sangat rendah ekstrem, seperti kemiskinan ekstrem," ujar Sisca dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (26/8/2025).
Ia menegaskan, pemangkasan TKD dalam RAPBN 2026 bukan sekadar hitungan angka, namun mengindikasikan terjadinya resentralisasi pengelolaan keuangan. Sebab, untuk pertama kalinya sejak 2005, porsi TKD anjlok ke titik terendah, hanya 17% dari total belanja negara.
Anggaran semakin tersedot ke pusat, sementara daerah dibiarkan lemah tanpa daya. Akibatnya, kelompok paling rentan seperti perempuan penyandang disabilitas, perempuan pesisir, dan perempuan miskin kota berisiko kehilangan hak atas kesehatan, air bersih, dan sanitasi layak.
Selain itu, Sisca melihat, dana daerah yang sudah dipangkas juga dibebani untuk mendukung program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Padahal, sebenarnya program tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan dasar dalam mandat Undang-Undang meliputi kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar, air bersih, sanitasi, dan lingkungan hidup.
Ia menyoroti, program MBG malah meningkat drastis menjadi Rp 335 trilliun untuk 2026. Atas dasar tersebut, ia meminta agar alokasi anggaran MBG dikurangi untuk dialihkan ke anggaran daerah, sehingga lebih berdampak nyata bagi masyarakat.
"Kalau MBG itu kan mendapatkan anggaran yang naik. Mungkin bisa sedikit ganti dari MBG untuk dialokasikan kepada alokasi anggaran untuk layanan kesehatan, air bersih, dan sanitasi. Jadi lebih jelas gitu, apa yang dapat lebih dirasakan oleh masyarakat," tuturnya.
Oleh karena itu, Fitra bersama Koalisi Prima mendesak DPR agar mendorong pemerintah untuk menambah alokasi TKD dan memprioritaskan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kesehatan, air bersih, dan sanitasi dalam pembahasan anggaran.
Koalisi Prima adalah Koalisi Penguatan Representasi dan Inklusi Perempuan dalam Anggaran. Koalisi ini terdiri dari International Budget Parnertship (IBP), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia dan INISIATIF
Sisca menuturkan, kita perlu duduk bersama DPR untuk mendiskusikan soal pemangkasan TKD. Walaupun belum masuk pembahasan atau baru Rancangan APBN.
"Jadi kami meminta agar transfer ke daerah itu bisa dibicarakan, bisa diskusikan lagi supaya dinaikkan untuk 2026," pungkasnya.
Koalisi Prima turut memandang penurunan TKD menjadi malapetaka bagi pemerintah daerah. Pemerintah Daerah akhirnya terpaksa mencari tambahan pendapatan asli daerah (PAD), salah satunya dengan menaikkan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2).
Kebijakan ini pun sudah mulai diterapkan di beberapa daerah dan mendapat penolakan masyarakat. Namun, persoalan terbesar dari penurunan TKD adalah berkurangnya alokasi DAK fisik maupun non-fisik.