Suku Talang Mamak: Hidup Ratusan Tahun di Hutan, Sertifikat Tak Juga Diakui
Selasa, 23 September 2025 - 11:33:23 WIB
PEKANBARU (BabadNews) – Ratusan tahun mereka hidup berdampingan dengan hutan, namun Suku Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh hingga kini masih menunggu pengakuan negara. Sertifikat tanah yang mereka pegang justru terjebak dalam tumpang tindih aturan tata ruang.
“Masyarakat adat itu sangat bijak menjaga alam dan hukum itu sendiri. Jadi sebelum Republik ini ada, masyarakat itu sudah ada,” ujar Ketua Umap Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Provinsi Riau, Datuk Seri Raja Marjohan Yusuf, dalam sebuah rapat dengan Komite I DPD RI, Senin (22/9/2025).
Sayangnya, kebijaksanaan adat itu kerap berbenturan dengan ketidakjelasan batas wilayah di lapangan. Marjohan mencontohkan keluhan masyarakat di Rimbang Baling, Kampar Kiri.
“Di sana disebutkan hutan lindung, tapi tidak ada papan hutan lindung kemana. Jadi sebagai masyarakat tidak tahu. Apalagi masyarakat kita yang berada di pedalaman,” tuturnya.
Persoalan ini bukan sekadar soal papan penunjuk, tetapi soal pengakuan. Wakil Bupati Indragiri Hulu (Inhu), Hendrizal, menyuarakan kegelisahan yang sama mengenai nasib Suku Talang Mamak.
“Masyarakat itu sudah ada di situ, terbentuk dusun-dusun di daerah-daerah penyangga... tapi sampai hari ini, masyarakat yang sudah beratusan dalam satu dusun ini tidak bisa menerbitkan sertifikatnya,” keluhnya. Alasannya klasik: wilayah adat mereka tumpang tindih dengan kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau, Nurhadi Putra, mengakui bahwa akar masalahnya terletak pada dinamika kebijakan tata ruang yang tidak sinkron. Ia membeberkan kronologinya: Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau pertama kali terbit pada 1994. Saat itu, banyak sertifikat hak atas tanah diterbitkan berdasarkan peta itu.
Masalah mulai muncul ketika terbit Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tentang Kawasan Hutan pada 2016. “Dalam SK tahun 2016 ini kurang lebih ada 2 juta hektare Areal Penggunaan Lain (APL) yang beralih menjadi kawasan hutan,” jelas Nurhadi. APL adalah area yang tidak berstatus hutan dan boleh dimanfaatkan untuk non-kehutanan, termasuk permukiman.
Dampaknya drastis. Ribuan sertifikat yang sah diterbitkan sebelum 2016 tiba-tiba status lahannya berubah menjadi kawasan hutan menurut aturan baru. Kondisi ini berlanjut dengan revisi SK pada 2021. “Ini cukup banyak hak yang terbit dan sekarang tinggal di bawah SK 2016 dan SK 2021,” tambahnya.
Artinya, masyarakat yang merasa telah memegang sertifikat sah tiba-tiba dianggap ‘menempati kawasan hutan’. BPN pun berada dalam posisi sulit. “Kewenangan kami memang terbatas. Tidak bisa menyentuh area yang dalam tata ruangnya masuk dalam kawasan hutan, apalagi area konservasi,” ujar Nurhadi.
Sebagai upaya penyelesaian, Nurhadi mengungkapkan bahwa BPN Riau dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah membentuk tim gabungan. Tim ini sedang mendata satu per satu sertifikat yang terlanjur terbit di atas lahan yang kini berstatus kawasan hutan.
“Kami sedang mengisi persatu untuk kita lihat mana yang bisa dilepas karena haknya terbit dulu daripada kawasan, mana yang memang harus kita perbaiki,” paparnya. Harapannya, untuk kasus-kasus dimana sertifikat terbit lebih dulu daripada penetapan kawasan hutan, lahannya dapat dikeluarkan dari SK terbaru melalui proses revisi oleh KLHK.
Namun, jalan ini masih panjang dan berliku. Bagi Suku Talang Mamak dan banyak masyarakat adat lainnya di Riau, proses birokrasi ini adalah penantian lain atas pengakuan yang sudah semestinya mereka dapatkan. Seperti disimpulkan Marjohan, “Mudah-mudahan dengan turunnya Bapak dan Ibu yang saya hormati masalah-masalah di Riau ini akan dapat diselesaikan.” Harapan itu masih menggantung, menunggu realisasi dari tim gabungan dan political will pemerintah pusat untuk mendahulukan keadilan bagi masyarakat yang telah lebih dulu ada sebelum republik ini berdiri. ***
Komentar Anda :