MK Putuskan Tapera Tak Lagi Wajib, Pekerja Bebas dari Iuran
Selasa, 30 September 2025 - 12:00:05 WIB
(BabadNews) – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan atas UU Tapera. Dengan putusan ini, pekerja tidak lagi diwajibkan membayar iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang sebelumnya bersifat memaksa.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo, dikutip dari KUMPARAN.
MK menilai, konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa dalam Program Tapera.
"Bertolak pada penjelasan tersebut, negara ditempatkan sebagai penanggung jawab utama penyediaan rumah layak huni bagi warganya. Namun, dengan adanya norma Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 justru tidak sejalan dengan tujuan dimaksud," ujar Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Saldi Isra.
"Sebab, norma tersebut mewajibkan setiap pekerja, termasuk pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi peserta Tapera. Norma demikian menggeser peran negara sebagai 'penjamin' menjadi 'pemungut iuran' dari warganya," imbuhnya.
Saldi menambahkan, pada Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kewajiban negara untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kelompok rentan, bukan justru mewajibkan mereka menanggung beban tambahan dalam bentuk tabungan yang menimbulkan unsur paksaan.
Prinsip tanggung jawab negara tersebut dipertegas dalam kebijakan sektoral mengenai perumahan, yang secara eksplisit dituangkan dalam UU 1/2011.
"Dengan merujuk pada dasar pertimbangan dibentuknya UU 1/2011, pada prinsipnya menegaskan bahwa peran negara adalah menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat," kata Saldi.
Anggota Hakim Konstitusi yang lain, Enny Nurbaningsih, menyoroti soal diberlakukannya ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 yang mengharuskan pekerja menyisihkan penghasilannya untuk tujuan yang relatif sama dengan skema JHT, pada akhirnya menimbulkan duplikasi program dan tumpang tindih pengaturan.
"Akibatnya pekerja dibebani iuran ganda, misalnya iuran JHT dihimpun dari pemotongan upah sebesar 2% ditanggung oleh pekerja dan 3,7% ditanggung oleh pemberi kerja [vide Pasal 16 PP 46/2015]. Di sisi lain, terkait Tapera, besaran simpanan peserta Tapera sebesar 0,5% oleh pemberi kerja dan sebesar 2,5% dari pekerja [vide Pasal 15 PP 21/2024],” kata Enny.
“Kondisi inilah yang didalilkan Pemohon menimbulkan beban untuk memenuhi kehidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan adanya kewajiban penyetoran Tapera jelas mengurangi bagian dari upah yang seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kehidupan pekerja sehari-hari," imbuhnya
Enny menegaskan, sifat wajib dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 diberlakukan tanpa membedakan pekerja yang telah memiliki rumah atau belum. Kewajiban seragam bagi seluruh pekerja.
“Termasuk mereka yang sebenarnya sudah memiliki rumah atau masih mencicil rumah, menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional. Berkaitan dengan persoalan ini, Pemohon dalam petitum alternatifnya memohon kepada Mahkamah agar kata 'wajib' dimaknai menjadi 'dapat',” ungkapnya.
Komentar Anda :