Tak Lagi Nyaman, Kelas Menengah Kini Hidup di Batas Tipis antara Cukup dan Sulit
Selasa, 07 Oktober 2025 - 13:28:27 WIB
JAKARTA (BabadNews) –Dulu, hidup di kelas menengah identik dengan kenyamanan dan kestabilan ekonomi. Kini, banyak yang justru terjebak di antara dua jurang: tak miskin untuk menerima bantuan, tapi tak cukup kuat menghadapi kenaikan biaya hidup yang kian menekan.
Akibatnya, tak sedikit masyarakat kelas menengah yang terpaksa menguras tabungan atau berutang demi memenuhi kebutuhan hidup. Pada akhirnya, gaji yang stagnan habis hanya untuk membayar cicilan dan biaya sehari-hari.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai fenomena meningkatnya utang di kalangan kelas menengah terlihat dari melonjaknya jumlah pinjaman online (pinjol) serta pengeluaran konsumsi masyarakat.
“Jumlah masyarakat yang mengakses pinjaman online semakin tinggi, begitu pula total utang mereka. Sementara pertumbuhan kredit UMKM justru menurun,” kata Tauhid, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, tren ini menunjukkan bahwa banyak kelas menengah kini bergantung pada pembiayaan hanya untuk konsumsi, bukan untuk investasi atau usaha.
“Kredit UMKM trennya berkebalikan dengan pinjol. Walau rasio kredit macet (NPL) pinjol di bawah 3%, trennya terus naik. Ini menandakan kelas menengah makin sulit,” ujarnya.
Tauhid juga mengutip data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memperlihatkan perlambatan pertumbuhan tabungan masyarakat. Tabungan di bawah Rp100 juta hanya tumbuh 11,9% pada periode Juli 2021–Juli 2024, turun dibandingkan pertumbuhan 26,3% pada Juli 2016–Juli 2019.
Begitu pula dengan tabungan Rp100 juta–Rp200 juta yang pertumbuhannya merosot dari 29,4% menjadi 13,3% di periode yang sama.
“Simpanan di bawah Rp100 juta makin lama makin turun. Artinya kemampuan daya tahan mereka terhadap kenaikan biaya hidup semakin melemah,” papar Tauhid.
Fenomena lain yang mencerminkan tekanan kelas menengah adalah meningkatnya porsi pengeluaran untuk makanan.
“Kalau konsumsi makanan semakin tinggi, berarti pengeluaran untuk non-makanan makin kecil. Itu tanda daya beli menurun, karena kelas menengah sehat justru punya porsi lebih besar untuk non-makanan,” jelasnya.
Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira. Ia menilai lonjakan industri pinjol dan meningkatnya jumlah masyarakat yang menggadaikan barang menunjukkan betapa terdesaknya kelas menengah.
“Data OJK mencatat outstanding pinjol naik 651% dalam periode 2020–2025. Sementara masyarakat yang menggadaikan barang meningkat 66% dalam lima tahun terakhir. Kalau tidak ke pegadaian ya ke pinjol se-desperate itu kelas menengah,” ungkap Bhima.
Fenomena ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah untuk memperhatikan kembali daya beli dan kesejahteraan kelas menengah. Sebab, kelompok ini selama ini menjadi penopang utama konsumsi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Komentar Anda :