Riwayat Kemiskinan di Tanah Melayu
Sabtu, 22 Juni 2024 - 20:00:09 WIB
babadnews.com - SYAHDAN, 201 tahun lalu, Thomas Stamford Raffles mengundang para Sultan dan Tumenggung di Singapura dalam suatu perjamuan. Ada yang hendak disampaikan olehnya.
“Lihatlah Singapura kini. Pelbagai bangsa hidup berniaga. Tapi adakah diantaranya saudagar Melayu? Orang Melayu tak mampu ikut dalam usaha-usaha yang penting, terutama karena mereka tak tahu bagaimana menyimpan kitab dagang dan menulis. Jika anak-anak Paduka belajar ilmu hitung dan soal-soal lain, arti pendidikan pun akan menyebar ke kalangan orang Melayu yang lain,” Raffles mencoba membujuk.
Sebagai seorang Inggris terpelajar, Raffles paham benar kekuasaan despot oriental seperti di Melayu akan tercipta kemajuan jika pucuk-pucuk kekuasaannya dimodernisasi terlebih dulu melalui pendidikan. Sayang, Sultan dan Tumenggung menolak tawaran tersebut.
Fragmen sejarah tadi direkam oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam karya monumentalnya, Hikayat Abdullah. Si penulis hikayat menyayangkan sikap yang diambil sultan. Kelak, keputusan itulah yang banyak berpengaruh terhadap kemunduran puak Melayu.
Kemiskinan di tanah Melayu punya riwayat yang panjang. Jika membaca karya Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, wilayah itu mulai mengalami kemunduran sejak paruh kedua abad ke- 17.
Menekan kelas pedagang
Catatan-catatan saudagar Eropa menunjukkan adanya tindakan sewenang-wenang para penguasa yang tidak membolehkan rakyatnya lebih kaya dari mereka. Misalnya saja yang dicatat oleh Wybrandt van Warwick tahun 1604 mengenai keadaan bandar di Kesultanan Aceh:
“Nampaknya raja tidak memperkenankan rakyatnya menjadi kuat dan kaya; orang-orang yang menjadi kuat dan kaya berusaha tidak memamerkannya.”
Tekanan seperti itu tentu saja mengubah etos kerja para pedagang. Mereka mulai enggan memotivasi diri untuk kaya. Menarik mundur dari sikap bekerja keras untuk sukses. Apalah artinya sukses dan kaya jika hasilnya lebih banyak dinikmati oleh penguasa. Sikap itu tetap dipertahankan dan diwariskan kepada keturunan berikutnya. Hingga akhirnya menarik diri dari pergaulan ekonomi internasional di masa itu.
Saling berperang dan menaklukkan
Tanah Melayu adalah rumah bagi puluhan kerajaan/kesultanan yang saling baku hantam. Konflik Melaka-Aceh, perang Jambi-Johor, dan belum lagi konflik internal perebutan tahta. Keadaan itu membuat wilayah Melayu sibuk saling menghancurkan tanpa sempat membangun.
Tidak begitu banyak bangunan-bangunan permanen yang ditinggalkan di Melayu sebagai pengingat sejarah, karena situasi-situasi yang disebutkan tadi membuat orang Melayu enggan membangun konstruksi-konstruksi monumental. Kebiasaan saling menaklukkan ini membuka peluang bagi kolonial Belanda melancarkan politik divide et impera, atau pecah belah. Sejarawan Ong Hok Ham malah menyebut para raja punya bakat untuk terpecah belah, Belanda hanya memanfaatkannya.
Kini, coba lihat daerah Melayu. Atau setidaknya pada tempat saya berdiri, Provinsi Riau. Dari tajuk “Anak Muda di 9 Provinsi Alami Defisit Gaji,” surat kabar Kompas melaporkan bahwa pendapatan per orang per bulan di Riau defisit hingga Rp 51.177 bagi warga kelas menengah. Defisit bahkan menyentuh angka Rp 110.141 pada kelas calon menengah. Kondisi itu merupakan lubang menganga rentannya kelas menengah turun kelas menjadi warga miskin.
Yang lebih menggiriskan hati, hingga saat ini BPS masih menggunakan standar lama tahun 2011 dalam menentukan Garis Kemiskinan. Di mana seorang yang miskin adalah mereka yang memiliki paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) kurang dari $1,90 atau setara Rp28.500 per orang per hari (berdasarkan nilai tukar $1 = Rp15.000). artinya, seseorang dikategorikan miskin jika berpendapatan di bawah Rp855.000 per bulan.
Padahal, sejak tahun 2023 Indonesia telah menjadi negara berpendapatan menengah atas (Smeru Institute, 2023). Sedangkan Bank Dunia menetapkan PPP $6,85 atau Rp102.750 per orang per hari (atau Rp3.082.500 per orang per bulan) bagi negara berpendapatan menengah atas. Praktis, lonjakan kemiskinan di Indonesia akan begitu tinggi jika menggunakan standar yang terakhir. Atau barangkali hanya akan menyisakan 5% penduduk Riau sebagai kelas menengah.
Disclaimer:
Saat ini penulis adalah bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kabupaten Pelalawan yang dituntut untuk mengedepankan netralitas. Artikel di atas tidak ditujukan untuk menghasut, memengaruhi, dan/atau mendiskreditkan orang/sekelompok orang. Isi artikel merupakan opini pribadi yang didukung oleh beberapa pustaka, dan ditujukan sebagai bagian dari diskursus ilmu sosial dan politik.
sumber : goriau
Komentar Anda :